Meningkatkan Peran Manajer Keperawatan Dalam Layanan Gawat Darurat Melalui Triage

Ns. Masitho S. Kep, editor foto : Pojok Literasi 

Jakarta, Pojok Literasi - Pelayanan kesehatan kegawatdaruratan merupakan hak asasi dan kewajiban yang harus diberikan kepada setiap orang. Pemerintah dan segenap masyarakat bertanggung jawab dalam pemeliharaan dan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan kegawatdaruratan sebagai bagian utama dari pembangunan kesehatan dan memiliki system pelayanan yang terstruktur (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2004). 

Menurut Undang-Undang RI No. 44 Tahun 2009 pasal 1, Gawat Darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih lanjut. 

Instalasi Gawat Darurat memiliki tujuan yaitu melakukan pelayanan kesehatan secara optimal bagi pasien secara cepat dan tepat serta terpadu dengan penanganan kegawat daruratan untuk mencegah kematian dan kecacatan (to save life and limb) dengan waktu penanganan atau respon time selama lima menit dan waktu definitif yang tidak lebih dari dua jam (Basoki dkk 2008, dalam Yanti dkk, 2011). 

Triase gawat darurat adalah proses pemilahan pasien berdasarkan tingkat kegawatdaruratan kondisi mereka untuk menentukan prioritas penanganan medis di Instalasi Gawat Darurat (IGD). 

Tujuan utama triase adalah memastikan bahwa pasien dengan kondisi yang paling serius mendapatkan perawatan segera, sementara pasien dengan kondisi kurang gawat dapat menunggu sesuai prioritas.

Sistem triase umumnya menggunakan kategori warna untuk mengidentifikasi tingkat kegawatan pasien: 

Merah: Pasien dengan kondisi kritis yang memerlukan penanganan segera untuk menyelamatkan nyawa, seperti henti jantung atau perdarahan masif. 

Kuning: Pasien dengan kondisi serius tetapi tidak mengancam nyawa secara langsung, memerlukan intervensi medis segera namun dapat menunggu sebentar. 

Hijau: Pasien dengan cedera atau kondisi ringan yang tidak memerlukan perawatan segera dan dapat menunggu lebih lama.

Hitam: Pasien yang sudah meninggal atau memiliki cedera yang tidak dapat diselamatkan dengan sumber daya yang ada.

Ketidaktepatan triage dapat mengakibatkan terjadinya penurunan angka keselamatan pasien dan menurunnya kualitas dari layanan kesehatan tersebut (Amri, Manjas, & Hardisman, 2019).

Pelaksaan triase yang sudah sesuai dengan standar pedoman pelaksanaan triase, kualitas layanan gawat darurat menjadi lebih optimal, mengurangi penumpukkan pasien pada salah satu skala triase dan membuat waktu tunggu pasien efektif sesuai dengan kondisi klinisnya. 

Ketika sistem triage tidak memiliki standard pelaksanaan maka waktu tunggu menjadi salah satu dampaknya (Ekins & Morphet, 2015).

Dalam Kondisi Bencana Triage adalah hal yang paling dasar yang seharusnya dimiliki anggota tim penanganan bencana. Triage merupakan suatu teknik penilaian dan mengklasifikasikan tingkat kegawatan korban bencana. 

Triage dibagi menjadi dua, yaitu Triage lapangan dan Triage dalam Rumah Sakit (RS). Untuk triage dalam Rumah Sakit biasanya dilakukan oleh perawat atau dokter instalasi gawat darurat dan mengenai triage lapangan, harusnya seorang first responder (yang pertama kali menangani bencana) menguasai triage.

Pentingnya triage untuk memilih siapa yang harus ditangani lebih awal dan siapa yang terakhir. Di Indonesia belum ada kesepakatan tentang metode triase yang digunakan di rumah sakit dan pada saat bencana. 

Belum ditemukan adanya literature nasional yang mengidentifikasi metode-metode triase yang digunakan tiap-tiap instalasi gawat darurat di Indonesia. Sistem triage di Indonesia belum terstandart secara nasional, meskipun Departemen Kesehatan telah menetapkan sistem triage nasional akan tetapi pelaksanaannya belum teraplikasi secara nasional. 

Selain belum kuat dari aspek sosialisasi dan pelatihan, pelaksanaan triase di Indonesia juga masih lemah dari aspek ilmiah. Minimnya penelitian dan publikasi dibidang gawat darurat dapat menyebabkan kerancuan dalam menerapkan metode triase (Habib Hadiki et al, 2016). 

Meskipun sudah ada kebijakan pemerintah mengenai penanganan kegawatdaruratan pada PMK No 47 Tahun 2018 tentang pelayanan kegawatdaruratan di fasilitas Kesehatan mengatur pelaksanaan triase sebagai bagian dari standar pelayanan IGD namun implementasinya menghadapi berbagai kendala terutama di daerah terpencil dan fasilitas kesehatan dengan keterbatasan sumber daya.

Perawat merupakan suatu bagian dari seluruh proses pelayanan yang mempunyai peranan sangat besar. 

Selain itu perawat juga memiliki tempat yang penting dalam persentase layanan kesehatan, secara alami perawat mengembangkan model seperti: 

Sikap terhadap organisasi rumah sakit dalam profesi keperawatan dan sikap terhadap pekerjaan dan lingkungan kerja (Damiler & Sarlak, 2009). 

Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2006), perawat merupakan salah satu petugas kesehatan IGD dalam suatu rumah sakit yang juga dapat berperan penting dalam penanganan pasien kegawatdarurat di IGD. 

Kemampuan membuat keputusan masalah etis menjadi salah satu persyaratan bagi perawat untuk menjalankan praktik keperawatan professional (Haryono, 2012).

Seorang perawat IGD harus mampu bekerja dalam menanggulangi semua kasus gawat darurat, maka dari itu dengan adanya pelatihan kegawatdaruratan diharapkan setiap perawat IGD mampu untuk melakukan perawatan sesuai dengan kompetensinya. 

Secara konsep, perawat merupakan petugas kesehatan yang mempunyai peran dan tanggung jawab utama dalam melakukan triage di (IGD) (Andersson, Omberg & Svedlund, 2006). 

Perawat triase merupakan orang pertama yang menerima pasien di ruang IGD, interaksi perawat dengan pasien yang ada di IGD akan mempengaruhi seluruh pasien yang ada di IGD dan menjadi sangat penting pada kondisi jumlah kunjungan pasien yang banyak. 

Perawat triase mengklasifikasikan pasien berdasarkan kebutuhan dasar mereka untuk mendapatkan pelayanan medis dimana pasien dengan kebutuhan medis tertinggi akan diberikan prioritas pertolongan pertama (Aloyce et al, 2014).

Kemampuan perawat dalam melakukan triase sangat berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan pertolongan pada saat pasien mengalami kegawat daruratan. Ketepatan perawat dalam melaksanakan triase juga dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain pengetahuan perawat tentang triase, masa kerja perawat, sikap perawat, dan keterampilan perawat. 

Pengetahuan, sikap dan keterampilan petugas IGD sangat dibutuhkan dalam pengambilan keputusan klinis agar tidak terjadi kesalahan dalam melakukan pemilihan berdasarkan triase sehingga dalam penanganan pasien bisa lebih optimal dan terarah. (Oman, 2008). 

Perawat pada semua tingkatan posisi klinis harus memiliki kemampuan menyelesaikan masalah dan mengambil keputusan yang efektif, baik sebagai pelaksana/staf maupun sebagai manajer (Dolan, 2017; Nursalam, 2020). 

Pengetahuan dan pedoman mengenai triase menjadi pilar yang utama untuk mendukung pelaksanaan triase di ruang gawat darurat. 

Sangat dibutuhkan penyebaran informasi, sosialisasi, seminar ataupun pelatihan triase kepada perawat gawat darurat untuk menjamin pelaksaan triase berfokus pada keselamatan pasien. 

Tingkat keramaian ruang IGD juga dapat mempengaruhi ketidaktepatan dalam triage, sehingga menjadi penting peran manajer perawat untuk dapat mengelola ruang IGD mulai dari proses rekruitmen perawat, mutasi perawat, penugasan, dan pelatihan (Odel, 2019). 

Penilaian under triage memiliki dampak langsung ke waktu tunggu pasien, dikarenakan hal ini akan membuat waktu penanganan menjadi lebih lama dari pada kondisi klinis yang seharusnya.

Peran perawat manajer dalam triase gawat darurat (gadar) sangat penting untuk memastikan pelayanan yang cepat, tepat, dan efektif di situasi kritis. 

Berikut adalah beberapa peran utama perawat manajer dalam triase gadar:

1. Koordinasi Tim

Mengatur dan memimpin tim perawat serta petugas kesehatan lainnya dalam menangani pasien yang datang ke unit gawat darurat.

Memastikan komunikasi yang efektif antar anggota tim.

2. Penentuan Prioritas

Membantu mengawasi atau langsung melakukan proses triase untuk menentukan prioritas pasien berdasarkan tingkat keparahan kondisi mereka.

Menggunakan sistem triase yang baku, seperti sistem warna (merah, kuning, hijau, hitam), untuk mengelompokkan pasien sesuai dengan kebutuhan intervensi medis.

3. Pengambilan Keputusan

Memastikan keputusan yang diambil dalam triase sesuai dengan protokol dan pedoman yang ada. Memberikan arahan saat terjadi kondisi darurat massal atau krisis.

4. Manajemen Sumber Daya

Mengelola penggunaan sumber daya seperti ruang rawat, alat medis, obat-obatan, dan tenaga kerja untuk memastikan layanan tetap optimal. Menyesuaikan alokasi sumber daya dengan kebutuhan prioritas pasien.

5. Pendidikan dan Pelatihan

Melatih staf perawat dan petugas kesehatan lain tentang prinsip dan praktik triase.

Memberikan bimbingan dan evaluasi untuk meningkatkan keterampilan dan kecepatan dalam triase.

6. Evaluasi dan Dokumentasi.

Memastikan proses triase terdokumentasi dengan baik sesuai dengan standar pelayanan kesehatan. Mengevaluasi kinerja tim dan prosedur triase untuk meningkatkan kualitas pelayanan.

7. Penyelesaian Masalah

Mengelola konflik yang mungkin terjadi di area gawat darurat, seperti perselisihan antar pasien atau keluarga mengenai prioritas penanganan.

Memberikan solusi cepat terhadap masalah operasional atau kendala dalam proses triase.

8. Peningkatan Mutu Layanan

Melakukan analisis data triase untuk meningkatkan efektivitas sistem dan alur kerja.

Mengusulkan inovasi atau perbaikan prosedur untuk mengoptimalkan waktu tanggap darurat.

Rekomendasi

1. Peningkatan Kompetensi Tenaga Kesehatan: 

Wajibkan pelatihan triase untuk tenaga kesehatan melalui program sertifikasi seperti BTCLS atau pelatihan lainnya. Sertikfikasi pengembangan kapasitas perawat IGD. Adakan pelatihan triase khusus untuk fasilitas kesehatan di daerah terpencil.

2. Peningkatan Infrastruktur dan Teknologi

Sediakan ruang triase yang memadai, peralatan dasar seperti oksimeter, tensimeter, dan sistem pendukung lainnya. Gunakan Aplikasi berbasis teknologi e-triage untuk mempermudah proses penilaian triase.

3. Penyusunan Prosedur Standar Triase

Tetapkan Prosedur Standar nasional yang disesuaikan dengan tipe fasilitas kesehatan (rumah sakit besar, kecil, atau terpencil). Sediakan panduan teknis berbasis digital yang mudah diakses oleh tenaga kesehatan.

4. Penguatan Monitoring dan Evaluasi 

Lakukan audit berkala terhadap pelaksanaan triase di setiap fasilitas kesehatan.

Tetapkan indikator kinerja utama untuk mengukur efektivitas triase, seperti waktu respons pasien kritis.

Penempatan perawat di triase di sesuaikan dengan kompetensi dan aktifkan program mentoring untuk fasiltas Kesehatan yang mempunyai keterbatasan sumber daya perawat 

5. Edukasi dan Sosialisasi

Kampanye edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya triase dan prosesnya.

Libatkan media dan komunitas lokal untuk menyebarluaskan informasi tentang sistem triase.

6. Kolaborasi Antar Instansi

Kerjasama dengan pemerintah daerah, Dinkes, dan institusi pelatihan untuk memastikan kebijakan ini diterapkan di seluruh wilayah, termasuk daerah terpencil.

Kesimpulan :

Pelaksanaan triase yang efektif di IGD sangat penting untuk mengoptimalkan alokasi sumber daya medis, mengurangi waktu tunggu, dan meningkatkan keselamatan serta kualitas perawatan pasien. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam tentang konsep dan prosedur triase sangat diperlukan bagi tenaga kesehatan yang bekerja di bidang kegawatdaruratan. 

Perawat yang merupakan petugas pertama yang menerima pasien di gawat darurat seharusnya mempunyai kompetensi dalam memilah pasien sesuai dengan kondisinya. Manajer keperawatan berperan sebagai penggerak utama dalam memastikan bahwa pelayanan triase berjalan cepat, tepat, dan terorganisasi. 

Dengan peran ini, mereka tidak hanya meningkatkan efisiensi layanan di IGD tetapi juga berkontribusi pada keselamatan pasien dan keberhasilan sistem pelayanan kesehatan secara keseluruhan.

Implementasi yang optimal membutuhkan kepemimpinan yang kuat, manajemen sumber daya yang efisien, dan fokus pada peningkatan kualitas secara berkelanjutan.


Sumber : Ns.Masitho S. Kep 
Mahasiswa Program Magister, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia
Lebih baru Lebih lama