Kasus Dugaan Korupsi Tunjangan Perumahan Segera Diperiksa Kejati Banten

Ilustrasi korupsi, gambar istimewa 

Pojok Literasi - Gelombang kritik publik terhadap penggunaan uang rakyat kembali mencuat, kali ini mendadak ramai dengan penurunan pendapatan transfer pemerintah pusat sebesar Rp. 402,993 Milliar.

Hal itu juga diwarnai dengan berbagai seruan boikot hapuskan tunjangan rumah DPRD Kota Tangerang dengan tagar : #HapustunjanganDPRD #Krisisrakyattangerang #TangkapmafiaAPBD 

Hal ini beredar di media sosial seperti : Instagram, Tiktok, Facebook, Twitter. Wadah ini diduga menjadi ruang dalam melampiaskan kekecewaan publik terhadap wakil rakyat di Kota Tangerang saat ini.

Persoalan tersebut awalnya dipicu oleh sorotan terhadap tunjangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang dinilai terlalu besar dan tidak sebanding dengan kinerja serta kepekaan wakil rakyat terhadap kondisi masyarakat sekarang ini. Sehingga masyarakat meminta pemerintah daerah segera untuk evaluasi kenaikan tunjangan untuk anggota DPRD.

Masyarakat menilai uang pajak dan retribusi yang mereka bayarkan justru tidak kembali dalam bentuk pelayanan publik yang memadai. Sebaliknya pajak lebih banyak digunakan dalam membiayai fasilitas pejabat seperti tunjangan perumahan dan tunjangan transportasi DPRD

Adapun pendapat lain dari salah satu anggota DPRD Kota Tangerang yang menyatakan "Bahwa mekanisme kenaikan tunjangan DPRD tidak bisa dikaitkan dengan adanya pemotongan transfer pemerintah pusat ke daerah (TKD)"

Hal ini diungkapkan oleh Iqbal Utama, selaku Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Trisula Keadilan Indonesia "Mau sampai kapan rakyat dibodohi dengan pernyataan seperti itu. Sudah sangat jelas tunjangan rumah puluhan juta rupiah tidak rasional. Selama ini tunjangan tidak ada pengaruhnya, yang terjadi justru anggota dewan sekedar mengejar balik modal," imbuhnya, Selasa 07 Oktober 2025.

"Pemotongan TKD yang signifikan berdampak pada pendapatan daerah. Maka dari itu perlunya pengkajian ulang anggaran, termasuk tunjangan DPRD. Pengurangan TKD sebesar Rp. 402,993 Miliar ini, memaksa pemerintah daerah untuk melakukan efesiensi anggaran," ujarnya.

Anggaran tunjangan perumahan itu, dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) melalui Sekretariat DPRD 

Dalam rapat paripurna DPRD Kota Tangerang dengan agenda Pengambilan Keputusan tentang Kesepakatan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan PPAS Tahun Anggaran 2026 Kamis (2/10/2025). Bahwa pendapatan daerah Kota Tangerang pada tahun anggaran 2026 diproyeksikan sebesar Rp 5,060 triliun atau mengalami penurunan sebesar Rp 344, 993 miliar atau setara dengan 6,38 % dibanding dengan rancangan awal KUA PPAS yang  disampaikan oleh Pemkot Tangerang kepada DPRD.

“Penurunan tersebut diakibatkan penurunan pendapatan transfer dari pemerintah pusat sebesar Rp 402,993 miliar serta adanya kenaikan hasil pembahasan pada pos Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar Rp 58 miliar. Namun bila dibandingkan dengan APBD Murni tahun  anggaran 2025 yang sebesar Rp 5,492 triliun maka mengalami penurunan sebesar Rp 431, 813 miliar atau  turun 7,86%,"

"Ada  pun Pendapatan Asli Daerah (PAD) 2026 diproyeksikan sebesar Rp 3,131 triliun. Dibandingkan APBD  Murni 2025 yang mencapai Rp 3,135 triliun maka terjadi penurunan sebesar Rp 4,662 miliar. Pos-pos PAD terdiri atas; Pajak Daerah sebesar Rp 2,78 triliun, Retribusi Daerah Rp 294, 801 miliar, Hasil Pengelolaan  Kekayaan yang Dipisahkan Rp 20,926 miliar, dan Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah Rp 30,688 miliar," ungkap Iqbal.

Sementara Pendapatan Transfer diproyeksikan Rp 1,929 triliun dan mengalami penurunan Rp 402. 993 miliar yang terdiri dari Pendapatan Transfer Pemerintah Pusat Rp 1,559 triliun serta Pendapatan Transfer Antar Daerah Rp  369,311 miliar.

Dari pos Belanja Daerah, pada tahun anggaran 2026 disepakati Rp 5,460 triliun atau mengalami penurunan  sebesar Rp 344 miliar atau 5,94% dari jumlah rancangan awal. Jika dibanding TA 2025 yang sebesar Rp  5,892 triliun, maka terjadi penurunan Rp 432. 603 miliar. 

“Perbandingan antara rencana Pendapatan dan  Belanja terdapat defisit sebesar Rp 400 miliar yang ditutupi melalui Pembiayaan yang berasal dari prediksi SILPA tahun 2025,” bener dia.

Iqbal menegaskan, dengan melihat kondisi daerah terkini, Pemerintah Kota Tangerang harus segera merasionalisasi atau mengevaluasi dan peninjauan kembali terkait tunjangan perumahan dan tunjangan tranportasi DPRD.

Lalu, kenapa Pemerintah Daerah Kota Tangerang sampai sekarang ini belum berani memberikan sikap sesuai kritikan masyarakat untuk segera mengevaluasi dan mencabut Perwal 14 Tahun 2025 terkait tunjangan perumahan dan tunjangan transportasi, yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan diatasnya.

Analisa perhitungan dugaan kerugian daerah terhitung sejak Perwal 89 tahun 2023 tertanggal 20 Oktober 2023 dan diubah Perwal 14 Tahun 2025 tertanggal 03 februari 2025 

Adanya potensi kerugian negara yang tidak berdasarkan Permenkeu Nomor 39 tahun 2024 tentang standar biaya masukan tahun 2025 tentang biaya maksimal sewa kendaraan pejabat senilai Rp.13.950.000,- dan Permendagri Nomor 7 Tahun 2006 terkait Standar Bangunan sewa perumahan untuk wilayah Provinsi Banten.

Potensi kerugian daerah selama 24 Bulan terhadap tunjangan perumahan dan tunjangan transportasi yang diterima oleh DPRD sampai bulan september 2025 sebesar Rp. 31,6 Milliar. _(Perhitungan sesuai laporan pengaduan kepada Kejaksaan Tinggi Banten)_

Contoh kasus perkara yang sudah dilakukan oleh kejaksaan di Republik Indonesia :

"Kejaksaan Tinggi NTT berhasil mengungkap terkait Tunjangan Perumahan, Tunjangan Transportasi dan Belanja Natura dan Pakan Natura dari DPRD Kota Kupang yang dilakukan oleh pemerintah Kota Kupang dan DPRD Kota Kupang Tahun 2022 dan Tahun 2023 telah melebihi standar yang telah ditentukan berdasarkan aturan yang berlaku diantaranya Peraturan Menteri Keuangan Nomor : Nomor : 60/PMK.02/2021 tentang Standar Biaya Masukan tahun anggaran 2022 dan Review Inspektorat dan BPK tahun 2021 sehingga mengakibatkan terjadi selisih pembayaran atau kelebihan pembayaran sebesar Rp.5.824.200.000,- (Lima Milyar delapan ratus dua puluh empat juta dua ratus ribu rupiah)._

"Dan Kejaksaan di beberapa wilayah Provinsi se- Indonesia sudah menyelesaikan perkara yang serupa. Apakah selanjutnya terjadi dikota Tangerang. Kita tunggu tindakan Aparat Penegak Hukum (APH) khususnya Kejaksaan Tinggi Banten,"

Menurut Iqbal selaku Ketua Kajian Hukum dan HAM LBH Trisula Keadilan Indonesia, tidak boleh ada peraturan perundangan yang memberi ruang bagi terjadinya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.

"Inilah uji nyali yang sesungguhnya. Apakah Kepala Daerah  berani mencabut perwal 14 Tahun 2025. Menurut kami unsur dan/atau dugaan tindak pidana korupsi pada kasus tunjangan perumahan dan tunjangan transportasi ini sudah cukup jelas dan selisih anggaran yang tidak berdasar pada Permenkeu No 49 Tahun 2023 Tentang Biaya Masukan T.A  2024 dan Permenkeu No 39 Tahun 2024 Tentang Biaya Masukan T.A 2025 Jo perwal Nomor 9 tahun 2025 dengan standar sewa kendaraan ini wajib secara peraturan dikembalikan kepada kas daerah," kata dia.

"Hendaknya  harus benar-benar mempertimbangkan kondisi ekonomi dan psikologis masyarakat saat ini. Evaluasi dan peninjauan kembali Perwal 14 Tahun 2025 pasal 16 dan Pasal 18 terkait tunjangan perumahan dan tunjangan transportasi harus segera dilakukan. Jangan menunggu perubahan dari Pemprov Banten," tambahnya.

Iqbal menyesalkan, di Kota Tangerang ini, rakyat diminta untuk taat bayar pajak dan bayar retribusi daerah, rakyat di minta berhemat, sementara wakil rakyat (DPRD) justru minta tambah dan malah memperjuangkan gaji dan tunjangan. Ironi macam apa ini?

Lebih jauh, Iqbal mengupas, bahwa sudah menjadi sorotan publik, tunjangan DPRD jauh melampaui rata-rata pendapatan rakyat. 

"Dengan berbagai fasilitas negara yang melekat mobil dinas untuk unsur pimpinan, tiket perjalanan, hingga jaminan kesehatan anggota DPRD sudah hidup lebih dari cukup. Sementara jutaan rakyat masih antri minyak goreng, pusing bayar sekolah anak, hingga menunggak listrik," imbuh dia.

Pertanyaan mendasar : untuk siapa mereka bekerja? Kalau rakyat masih hidup susah, sementara mereka menuntut kesejahteraan lebih, maka jelas DPRD bukan lagi “wakil rakyat,” melainkan “beban rakyat.”

Menurutnya, DPRD sering berdalih bahwa kenaikan tunjangan dibutuhkan demi meningkatkan kinerja. "Mari kita buka data: berapa banyak peraturan daerah yang benar-benar lahir dari inisiatif DPRD? Berapa banyak rapat yang kosong kursinya karena anggota tidak hadir? Berapa banyak kasus dugaan korupsi yang justru menyeret wakil rakyat?," keluh Iqbal.

Dengan catatan kinerja keropos seperti itu, berbicara soal kenaikan tunjangan hanya menambah luka rakyat. Ini bukan sekadar ketidakpekaan, tapi arogansi politik

"Pembayaran pajak dan retribusi daerah yang ditanggung masyarakat selalu dijual dengan alasan mulia: pembangunan infrastruktur, kesehatan, pendidikan. Namun pada kenyataannya, pajak itu juga mengalir untuk membiayai gaji, tunjangan, dan fasilitas pejabat publik. Artinya, rakyat yang pontang-panting membayar pajak, justru membiayai gaya hidup elit politik," ujar Iqbal.

Jika DPRD benar-benar serius ingin dihormati, pesan Iqbal, "seharusnya mereka menjadi garda terdepan dalam mengevaluasi Perwal 14 Tahun 2025. Sayangnya itu hanya "Janji Palsu Wakil Rakyat alias Omon-omon", yang terjadi sebaliknya: perwal tidak mau dicabut, rakyat diperas, elit dipelihara," sentilnya.

Menurut Iqbal, kenaikan tunjangan perumahan dan transportasi DPRD Kota Tangerang di tengah penderitaan rakyat adalah bentuk penghianatan terhadap prinsip keadilan sosial. "Ia hanya akan memperlebar jurang pemisah antara rakyat dan wakilnya, dan mempertegas citra DPRD sebagai lembaga yang hanya peduli pada dirinya sendiri," katanya.

"Kami berkeinginan bagaimana ketegasan dan sikap kepala daerah terpilih. Berdasar peraturan kebijakan kepala daerah itu sendiri, memiliki kewenangan untuk mencabut perwal yang dibuatnya. Ketika perwal tersebut menjadi sorotan tajam dari publik dan bersifat sudah tidak relevan,"

"Apabila  kondisi ini dibiarkan, bukan tidak mungkin kepercayaan rakyat akan benar-benar runtuh. Dan ketika rakyat sudah tidak percaya lagi, kursi empuk yang di duduki DPRD, hanyalah simbol kosong yang kehilangan legitimasi moral," tegas dia.

Dalam perkara ini LBH sudah mengajukan Hak Uji Materil (HUM) Ke Mahkamah Agung RI dan Informasi Penyelidikan kepada Kejaksaan Tinggi Banten. 

"Sekarang sudah dalam tahapan proses klarifikasi dan kelengkapan pemberkasan. Kami berharap keadilan masih bersama rakyat kecil dan mendapatkan putusan dan tindakan hukum yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)," pungkasnya. 


Survival Journalism 

Lebih baru Lebih lama