![]() |
| Reychell Mirino, S.Kep.,Ns |
Jakarta, Pojok Literasi - Pernikahan dini adalah pernikahan antara seorang pria dan wanita yang masih belum dewasa baik psikis maupun mentalnya, beberapa pernikahan dini terjadi dengan alasan menghindari fitnah atau bahkan pernikahan dini tersebut terjadi karena adanya kesalahan dalam lingkup pergaulan.
Remaja yang berada di lingkungan yang bebas sangat rentan untuk mengontrol dirinya sehingga terjadilah pernikahan dini tanpa adanya pembinaan atau edukasi terlebih dahulu.
Undang-undang Republik Indonesia No.1 tahun 1974 mengatur batas pernikahan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun, sementara itu, apabila berdasarkan ilmu kesehatan, umur ideal yang matang secara biologis dan psikologis adalah 20 sampai 25 tahun bagi wanita, kemudian 25-30 tahun bagi pria.
Usia tersebut dianggap masa yang paling baik untuk berumah tangga, karena sudah matang dan dapat berpikir dewasa secara rata-rata. (Isnaini & Mirna, 2024)
Stunting merupakan gangguan pertumbuhan dan perkembangan akibat anak kekurangan gizi, stimulasi psikososial yang tidak memadai. Stunting merupakan bentuk kegagalan pertumbuhan (growth faltering) akibat akumulasi ketidakcukupan gizi yang berlangsung lama mulai dari kehamilan sampai usia 24 bulan (Kementerian Kesehatan RI, 2018).
Stunting memiliki pengaruh jangka pendek dan jangka panjang, termasuk perkembangan anak di masa yang akan datang terkait kognitif, motorik dan verbal.
Anak-anak yang mengalami stunting akan memiliki kerentanan yang lebih tinggi terhadap penyakit tidak menular (PTM) di masa dewasa, seperti obesitas, hipertensi, diabetes hingga kanker. Hal ini dapat mempengaruhi produktivitas, potensi pendapatan dan keterampilan sosial di kemudian hari.
Mengapa Pernikahan Dini dan Stunting di Papua penting untuk Diatasi?
Pernikahan dini dan stunting merupakan dua tantangan utama yang dihadapi oleh masyarakat Papua, dengan dampak yang signifikan terhadap kesehatan ibu, anak dan kesejahteraan keluarga.
Masalah ini bukan hanya persoalan kesehatan, tetapi juga sosial, ekonomi dan budaya yang memerlukan penanganan terpadu dan berkelanjutan.
Pernikahan dini tidak hanya melanggar hak anak, tetapi juga berdampak serius pada kesehatan reproduksi, pendidikan dan ekonomi perempuan.
Anak perempuan yang menikah dini cenderung putus sekolah, kehilangan peluang ekonomi dan menghadapi risiko kesehatan yang lebih besar. Dampak kesehatan mencakup komplikasi selama kehamilan dan persalinan karena tubuh yang belum matang untuk melahirkan.
Menurut data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2023 menunjukan bahwa 20% perempuan di Papua menikah sebelum usia 18 tahun dan prevalensi stunting mencapai 36,7%, jauh diatas rata-rata nasional.
Faktor utama yang berkontribusi pada permasalahan ini adalah rendahnya akses layanan Keluarga Berencana (KB), kurangnya edukasi tentang kesehatan reproduksi serta norma budaya yang mendukung pernikahan dini.
Pernikahan dini berisiko tinggi terhadap kesehatan ibu dan anak. Ibu yang menikah dan melahirkan diusia muda cenderung memiliki komplikasi kehamilan, sementara anak-anak yang lahir dari pernikahan dini sering mengalami gizi buruk dan stunting.
Disisi lain, rendahnya penggunaan KB di Papua, hanya 28% pasangan usia subur menggunakan kontrasepsi modern (SDKI, 2022), memperparah jarak kelahiran yang terlalu dekat, sehingga berdampak pada pola asuh dan kondisi gizi anak.
Optimalisasi Program KB di Papua
Layanan Keluarga Berencana (KB) adalah salah satu solusi utama untuk mencegah pernikahan dini dan stunting.
Namun, akses terhadap layanan KB di Papua masih sangat rendah, dengan hanya 28% pasangan usia subur menggunakan kontrasepsi modern (SDKI 2022).
Hambatan utama dalam layanan KB di Papua meliputi :
- Kondisi Geografis: Banyak wilayah terpencil yang sulit dijangkau, sehingga masyarakat tidak memiliki akses terhadap alat kontrasepsi atau penyuluhan KB.
- Norma Budaya: Beberapa komunitas memandang memiliki banyak anak sebagai simbol kekayaan atau keberkahan, sehingga penerimaan terhadap program KB rendah.
- Stok dan Infrastruktur: Keterbatasan stok kontrasepsi di Puskesmas dan Posyandu membuat masyarakat kesulitan mengakses layanan KB yang berkelanjutan.
Meskipun telah ada program untuk menurunkan angka stunting dan meningkatkan penggunaan KB, pendekatan yang dilakukan belum terintegrasi secara optimal.
Program KB sering dilihat sebagai upaya pengendalian populasi semata, tanpa mempertimbangkan dampaknya pada kualitas hidup ibu dan anak.
Begitu pula, program pencegahan stunting sering tidak memasukkan layanan KB sebagai bagian dari solusi yang komprehensif. Integrasi layanan KB dengan program kesehatan ibu dan anak sangat penting, terutama di Papua.
Program KB yang efektif dapat membantu ibu merencanakan jarak kelahiran yang lebih baik, sehingga memberikan waktu yang cukup untuk pemulihan tubuh dan pengasuhan anak.
Disisi lain, pencegahan stunting memerlukan pendekatan berbasis keluarga, di mana edukasi Program KB menjadi bagian dari penyuluhan gizi dan pola asuh.
Solusi: Mengatasi Pernikahan Dini dan Stunting Melalui Optimalisasi Program KB di Papua
Solusi untuk mengatasi Pernikahan Dini dan Stunting di Papua diperlukan pendekatan yang komprehensif.
Pertama, diperlukan peningkatan edukasi kesehatan reproduksi melalui integrasi materi tentang kesehatan reproduksi, hak anak dan risiko pernikahan dini ke dalam kurikulum sekolah menengah pertama dan atas, termasuk melibatkan lembaga pendidikan agama untuk menyampaikan edukasi dengan pendekatan moral dan spiritual.
Selain itu, sosialisasi dan penyuluhan berbasis komunitas dapat dilakukan dengan melibatkan tokoh adat, agama dan pemimpin masyarakat untuk menyuarakan pentingnya menunda pernikahan dini serta memanfaatkan media tradisional dan digital untuk menyebarkan pesan kesehatan reproduksi.
Program pelatihan bagi remaja juga perlu diadakan untuk memberikan penyuluhan tentang perencanaan masa depan dan keterampilan hidup (life skills) guna mengurangi tekanan sosial yang mendorong pernikahan dini.
Kedua, Peningkatan akses layanan KB di daerah terpencil dapat dilakukan dengan membentuk tim kesehatan bergerak seperti dokter, perawat, bidan dan tenaga kesehatan lainnya yang menyediakan layanan KB, penyuluhan dan konseling langsung di wilayah terpencil, serta merekrut dan melatih kader kesehatan lokal untuk memastikan keberlanjutan pelayanan di komunitas.
Upaya ini perlu didukung dengan peningkatan infrastruktur melalui penyediaan alat kontrasepsi yang memadai di Puskesmas, Posyandu dan fasilitas kesehatan lainnya, serta modernisasi fasilitas kesehatan di wilayah terpencil untuk menjamin pelayanan KB yang berkualitas.
Selain itu, penyediaan kontrasepsi gratis atau bersubsidi bagi keluarga kurang mampu juga menjadi langkah penting untuk mendorong penggunaan KB secara konsisten dan berkelanjutan.
Ketiga, integrasi layanan KB dengan program pencegahan stunting dapat dilakukan melalui paket layanan terpadu yang menggabungkan layanan KB dengan penyuluhan tentang gizi ibu dan anak dalam satu program di Puskesmas atau Posyandu, serta menyediakan makanan tambahan untuk ibu hamil dan anak balita saat kunjungan KB.
Pendampingan keluarga juga menjadi langkah penting dengan merekrut kader kesehatan untuk memberikan konseling tentang pentingnya jarak kelahiran yang ideal dan pola makan sehat.
Selain itu, penyuluhan edukasi terintegrasi perlu dilakukan untuk mensosialisasikan bahwa layanan KB tidak hanya membantu perencanaan kehamilan yang lebih baik tetapi juga berkontribusi dalam mencegah stunting dengan mendukung pengelolaan sumber daya keluarga yang lebih optimal.
Keempat, pendekatan berbasis budaya dan komunitas dapat dilakukan dengan melibatkan tokoh adat dan agama untuk mendukung program KB serta mencegah pernikahan dini melalui pendekatan kultural yang relevan, termasuk menggunakan narasi berbasis nilai-nilai lokal agar masyarakat lebih menerima layanan KB.
Selain itu, pelatihan intensif untuk kader kesehatan setempat diperlukan agar mereka dapat menyampaikan informasi dengan cara yang sesuai dengan budaya masyarakat.
Edukasi juga dapat disampaikan melalui media tradisional, seperti seni, musik, atau drama tradisional, sehingga informasi tentang kesehatan reproduksi dan KB lebih mudah dipahami dan diterima oleh masyarakat.
Kelima, insentif dan dukungan ekonomi untuk pengguna KB dapat diberikan melalui berbagai cara, seperti insentif tunai bagi keluarga kurang mampu yang secara konsisten memanfaatkan layanan KB, sehingga mendorong kepatuhan terhadap program tersebut.
Selain itu, penyediaan beasiswa pendidikan bagi anak-anak dari keluarga yang berpartisipasi dalam program KB dapat menjadi motivasi tambahan, membantu meningkatkan akses pendidikan sekaligus mendukung kesejahteraan keluarga.
Dukungan kewirausahaan juga perlu diberikan dengan menyediakan pelatihan dan bantuan modal usaha kecil bagi keluarga yang menjalankan perencanaan keluarga, sehingga mereka dapat meningkatkan taraf ekonomi dan kualitas hidup.
Keenam, Penguatan pemantauan dan evaluasi program dapat dilakukan dengan membangun sistem digital berbasis data untuk mencatat dan memantau tingkat penggunaan KB serta prevalensi stunting di setiap wilayah, didukung oleh evaluasi triwulanan untuk menilai efektivitas program, mengidentifikasi hambatan dan memperbaiki strategi secara berkelanjutan.
Kolaborasi multi-stakeholder, melibatkan organisasi non-pemerintah (NGO), universitas dan mitra internasional, juga penting untuk mendukung pelaksanaan program dan penelitian yang relevan.
Selain itu, kebijakan harus disesuaikan dengan pendekatan sensitif gender, memastikan perhatian khusus diberikan kepada perempuan sebagai kelompok rentan, sekaligus melibatkan laki-laki dalam diskusi tentang program KB dan kesehatan reproduksi untuk menciptakan kesadaran bersama dan tanggung jawab keluarga yang lebih baik.
Kesimpulan
Pernikahan dini dan stunting merupakan masalah serius yang perlu ditangani secara komprehensif, khususnya di Papua. Kedua masalah ini saling terkait dan berdampak pada kesehatan ibu dan anak serta kesejahteraan keluarga.
Optimalisasi program Keluarga Berencana (KB) di Papua sangat penting untuk mencegah pernikahan dini dan stunting. Untuk itu, dibutuhkan peningkatan edukasi kesehatan reproduksi, peningkatan akses layanan KB di daerah terpencil, integrasi layanan KB dengan program pencegahan stunting, pendekatan berbasis budaya dan komunitas serta insentif ekonomi untuk mendukung pengguna KB.
Selain itu, penting untuk memperkuat pemantauan dan evaluasi program agar dapat memperbaiki strategi secara berkelanjutan. Melalui kolaborasi antara pemerintah, masyarakat dan berbagai pemangku kepentingan, masalah pernikahan dini dan stunting diharapkan dapat teratasi.
Sumber : Reychell Mirino, S.Kep.,Ns
Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Keperawatan, Peminatan Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia
