TANGERANG, Pojok Literasi - Satu tahun sudah pemerintahan Prabowo & Gibran berjalan sejak dilantik pada tanggal 20 Oktober 2024. Euforia politik dan narasi semata dengan 'Memperbaiki dan Melanjutkan' warisan Jokowi menjadi benang merah kampanye mereka. Kini, publik menuntut bukti, sejauh mana retorika menyala berubah menjadi kinerja nyata. Senin, 13 Oktober 2025.
Janji menguap menjadi slogan kosong. Pemerintah tampak sibuk mempertahankan citra dan elektabilitas, bukan memperjuangkan substansi pada kesejahtaraan rakyat, Program andalan seperti makan bergizi gratis dijadikan simbol populisme, bukan kebijakan gizi nasional yang matang.
Realisasi antara makan bergizi gratis tidak luput dari sebuah masalah yang kini menjadi sorotan publik dengan segudang permasalahan kualitas makanan yang tidak sesuai standar gizi atau bahkan tidak layak konsumsi, isu keamanan dan kehalalan pangan, serta keracunan makanan yang terjadi di beberapa daerah.
Bukan hanya Makan Bergizi Gratis yang menjadi program populis, kini “Koperasi Desa Merah Putih” dikemas dengan retorika heroik, tapi implementasinya dinilai lebih seremonial daripada substansi. Purworejo menjadi Satu fenomena dengan kegagalan sistem Koperasi Merah Putih yang tidak berjalan dengan adanya penolakan Kepala Desa, pembentukan Koperasi Merah Putih di Purworejo dengan alasan tumpang tindih kebijakan, potensi penyerobotan dana desa, dan kurangnya komunikasi. Penolakan dinilai sebagian besar masalah komunikasi, ini memperlihatkan dengan bobroknya komunikasi birokrasi.
Prabowo datang dengan klaim 'Melanjutkan yang baik, Memperbaiki yang kurang' namun dalam praktik, pemerintahan ini tidak melanjutkan dengan visi, melainkan mengulang tanpa regleksi.
Kriston Ketua DPC GMNI Tangerang Selatan menyampaikan bahwa Hilirisasi yang diwarisi dari Jokowi tetap berjalan, tapi tanpa koreksi pada kerusakan yang ada.
"Satu tahun pemerintahan ini bukan perjalanan dari janji ke realisasi, tetapi dari retorika ke ilusi.
Program populis tak menjawab akar persoalan, reformasi birokrasi tak bergerak, dan arah pembangunan kehilangan ruh," papar Kriston.
"Prabowo–Gibran seolah ingin menulis sejarah baru Indonesia, namun yang mereka hasilkan baru bab pembuka tentang stagnasi. Dalam setahun, Prabowo–Gibran belum mampu membuktikan bahwa mereka membawa perubahan berarti," tambahnya.
"Retorika besar tentang kemandirian dan kesejahteraan masih tertinggal di podium kampanye. Bila kebiasaan ini terus berlanjut, sejarah mungkin akan menilai periode mereka bukan sebagai masa kebangkitan nasional, melainkan masa kehilangan arah nasional," tutupnya.
Sumber : Kriston Ketua DPC GMNI Tangerang Selatan
